Demokrasi Sedang Mengalami Satu Momen
Mengapa umat Kristiani harus menjadi umat bermoral yang menjadi sandaran pemerintahan yang bebas dan representatif.
Menurut artikel baru-baru ini di Los Angeles Times1, terdapat rekor 4,2 miliar orang yang dapat ikut memilih dalam pemilu di seluruh dunia tahun ini. Surat suara akan diberikan di setiap benua kecuali Antartika, dan itu hanya karena penguin tidak bisa memilih.
Yang pasti, terlalu banyak pemilu yang berlangsung tidak akan bebas, adil, atau aman. Dan, di banyak tempat, pemilu hanya akan meningkatkan ketegangan politik dan semakin hilangnya kebebasan. Beberapa minggu yang lalu, para pemilih di Taiwan memilih presiden baru dari Partai Progresif Demokratik, yang meningkatkan ketegangan antara masyarakat Taiwan yang berpikiran independen dengan Partai Komunis Tiongkok. Yang memegang jabatan sebagai Perdana menteri India saat ini, seorang nasionalis Hindu, diperkirakan akan dengan mudah memenangkan masa jabatan ketiganya pada musim semi ini, yang kemungkinan besar berarti penganiayaan terhadap umat Kristen dan Muslim akan meningkat di negara tersebut. Pemilu di Bangladesh pada awal bulan Januari diyakini secara luas merupakan pemilu yang palsu, dan pemilu yang akan datang di Rusia kemungkinan besar akan memiliki kredibilitas yang lebih rendah.
Beberapa orang memandang kegagalan ini sebagai bukti bahwa demokrasi tidak berjalan. Kolumnis LA Times, Joe Mathews memperkirakan bahwa setelah melihat semua “keburukan” yang terlihat dalam pemilu demokratis di seluruh dunia tahun ini, masyarakat mungkin akhirnya mulai mencari “cara yang lebih baik.”
Namun, fakta bahwa sebagian besar masyarakat global mengakui korupsi dan pemilu yang tidak adil sebagai “keburukan” merupakan bukti kekuatan dan ketahanan ide-ide demokrasi. Dunia tidak selalu seperti ini. Sebelum Amerika Serikat berdiri, demokrasi perwakilan masih jauh dari norma, dan bahkan pada saat itu, hal tersebut tidak diharapkan terjadi di seluruh dunia. Seiring dengan meluasnya gagasan Kristiani tentang nilai-nilai kemanusiaan dan martabat universal di negara-negara Barat, gagasan bahwa semua orang harus mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan mereka sendiri pun ikut berkembang. Ide-ide yang sama inilah yang menjadi alasan kita menolak pemilu palsu dan otoritarianisme. Ide-ide inilah yang menjadi alasan negara-negara mendambakan kesetaraan dan kejujuran, dan mengapa hal-hal tersebut kini terlihat jelas.
Meskipun orang Yunani kuno sering dianggap sebagai penemu demokrasi, perempuan dan budak tidak memiliki hak untuk memilih atau berpartisipasi dalam pemerintahan. Seringkali, orang-orang kaya dan bebas tidak mempunyai pilihan untuk berpartisipasi namun diberi mandat untuk melakukannya.
Pada awal tahun 1800-an, filsuf dan sejarawan politik Perancis Alexis de Tocqueville mengunjungi Amerika Serikat yang baru merdeka. Dalam kumpulan pengamatannya yang diterbitkan, Democracy in America (Demokrasi di Amerika), de Tocqueville memuji Kekristenan karena telah memberikan landasan filosofis nyata pertama bagi demokrasi sejati kepada dunia: “Kekristenan, yang telah menjadikan semua manusia setara di hadapan Tuhan, tidak akan segan melihat semua warga negara setara di bawah hukum."
Gagasan bahwa manusia memiliki martabat yang melekat dan karena itu setara satu sama lain adalah gagasan unik Kristen, menurut de Tocqueville, dan pada dasarnya berbeda dengan filosofi utilitarian yang memunculkan apa yang disebut “demokrasi” di Yunani kuno: “Adalah perlu bahwa Yesus Kristus datang ke bumi untuk memperjelas bahwa semua anggota spesies manusia secara alami sama dan setara.”
Jelas sekali, demokrasi di Amerika pada awal berdirinya negara ini juga gagal mencapai cita-cita tersebut. Budak, perempuan, dan bahkan orang-orang hitam yang merdeka tidak diberi hak untuk memilih dan, khususnya dalam kasus perbudakan, diperlakukan secara tidak manusiawi. Kebenaran yang dianggap “sudah jelas, bahwa semua manusia diciptakan setara dan diberkahi oleh Pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut” adalah sebuah cita-cita yang tidak terpenuhi. Namun, justru karena aspirasi inilah kita menyadari kegagalan moral kita yang sangat besar sebagai satu bangsa.
Demikian pula, korupsi dan pemilu yang tidak jujur yang mungkin kita saksikan di seluruh dunia tahun ini tidak membuktikan bahwa demokrasi adalah ide yang buruk. Sebaliknya, hal-hal tersebut merupakan bukti gambaran alkitabiah lain mengenai kondisi manusia. Manusia telah jatuh dan tunduk pada kerusakan dosa.
Surat kabar The LA Times mungkin khawatir mengenai apakah manusia dapat bertahan dalam demokrasi. Pertanyaan yang lebih baik adalah apakah demokrasi dapat bertahan dari kejatuhan umat manusia. Hal ini merupakan salah satu pengamatan Alexis de Tocqueville: Sama seperti agama Kristen yang memberikan landasan filosofis dan moral bagi demokrasi, moralitas Kristen adalah satu-satunya sistem yang dapat menjaga demokrasi agar tidak berubah menjadi tirani.
Demokrasi hanya dapat dipertahankan jika warga negara yang mempunyai informasi bertindak dalam kerangka moral. Hal ini, pada gilirannya, memerlukan pemahaman tentang dunia sebagaimana adanya, terutama apa artinya menjadi manusia. Para wakil terpilih yang tidak bisa membedakan yang baik dari yang jahat, atau “laki-laki” dari “perempuan” sulit diharapkan untuk membuat kebijakan yang memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk mencari kebaikan. Seperti yang ditulis2 oleh John Adams, presiden AS kedua, “konstitusi kita dibuat hanya untuk masyarakat yang bermoral dan religius. Hal ini sama sekali tidak memadai bagi pemerintah negara lain.”
Tuhan telah menempatkan kita pada saat ini, satu saat yang sungguh merupakan anomali sejarah. Hal ini antara lain berarti kita mempunyai tanggung jawab untuk menjadi masyarakat bermoral yang menjadi sandaran demokrasi. Oleh karena itu, kita harus berkomitmen lagi untuk saling mengasihi, mengendalikan emosi, ambisi, keserakahan, dan kecenderungan egois, dan tidak pernah berkompromi pada kebenaran tentang apa artinya menjadi manusia atau apa artinya mencari kebaikan.
Untuk mendapatkan lebih banyak sumber daya untuk hidup seperti orang Kristen di momen budaya ini, kunjungi breakpoint.org.
Diterjemahkan secara bebas dari Democracy Is Having a Moment, John Stonestreet, 14 Februari 2024.
https://www.latimes.com/opinion/story/2023-12-28/democracy-election-authoritarianism-voting
https://founders.archives.gov/documents/Adams/99-02-02-3102