Progress atau perkembangan atau kemajuan merupakan hal yang baik bagi kehidupan manusia. Tetapi dalam beberapa dekade terakhir ini kata progress telah dibajak dan disalah-artikan. Didukung oleh lembaga-lembaga bahasa khususnya di negara-negara berbahasa Inggris seperti Oxford dan Merriam Webster yang memegang peranan kunci dalam penerbitan kamus bahasa, penyelewengan arti atau makna dari suatu kata diredefinisikan ulang agar sesuai dengan ideologi dan agenda kelompok radikal kiri (left wing) yang tidak berTuhan.
Kata progress dengan liciknya diartikan sebagai lawan kata dari kata tradisional, pada umumnya masyarakat yang tidak benar-benar jeli tidak menyadari bahwa upaya ini bertujuan untuk menjebak pengertian bahwa kelompok masyarakat yang mempertahankan nilai-nilai tradisi yang baik sebagai kelompok masyarakat yang anti kemajuan (progress).
“a person advocating or implementing social reform or new, liberal ideas: people tend to present themselves either as progressives or traditionalists on this issue.”
“seseorang yang memperjuangkan atau menerapkan ide-ide reformasi sosial atau ide-ide liberal: orang cenderung menampilkan diri mereka sebagai orang yang mendukung kemajuan (progressive) ATAU orang yang mempertahankan nilai tradisi (traditionalist)
Dengan menggambarkan kelompok tradisional yang mempertahankan nilai-nilai tradisi yang baik sebagai kelompok penentang kemajuan, masyarakat dunia menerima hasutan kelompok radikal dari sayap kiri untuk memarginalisasikan/mengucilkan kelompok tradisional dan ide-ide tradisional akan semakin dianggap racun.
Lembaga-lembaga bahasa ini bertanggung-jawab atas penyesatan pengertian akan kata-kata dan makna sesungguhnya dari kata-kata tersebut. Kata progressive bukan satu-satunya yang diartikan ulang, banyak kata lain juga dibongkar dari esensi kata-kata itu sendiri. Kata “pernikahan” juga mengalami perombakan yang sangat fundamental. Tetapi mengenai isu bahasa mungkin saya dapat menuliskan dalam artikel lain yang lebih mendalam. Mari kembali kepada topik mengenai progresifitas yang menghancurkan.
Progresifitas atau kemajuan yang mendapat dukungan dan simpati dari para elit di bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya adalah progresifitas negatif atau kemajuan menuju kehancuran. Makna dari kata progresifitas hari ini sudah tidak bisa dikonotasikan positif, dengan menyaksikan perilaku dan tindakan kelompok-kelompok radikal yang memanggil diri mereka masyarakat progresif.
Tindakan dan perilaku generasi muda pada umumnya yang menjunjung tinggi bendera progresifitas sudah masuk ke dalam kategori asusila dan tidak lagi memegang kepada nilai-nilai kemanusiaan, walau ada kelompok baby-boomer1 yang ikut-ikutan dalam politik identitas2 juga maju di dalam barisan gerakan progresif hari ini. Kelompok ini sangat percaya bahwa mereka berpegang kuat kepada nilai-nilai kemanusiaan, yang pada kenyataannya tidak lebih dari pada kecenderungan egocentric.3
Mari kita lihat kepada satu peristiwa yang berlangsung beberapa hari lalu dan masih terus berlangsung hingga hari ini. Peristiwa demonstrasi dari anak-anak yang masih bisa dikatakan sangat belia dan usia sekolah ikut-ikutan di dalam gerakan aktivisme radikal. Mereka berdemonstrasi di tempat kediaman dari para Hakim Agung (Supreme Justices) dengan menggelarkan aksi-aksi yang sangat tidak senonoh dan menjijikkan. Anak-anak muda ini telah menggenapkan pengertian dari istilah “useful idiots4” atau “orang idiot yang berguna” yang menjadikan diri sendiri sebagai kaki tangan dan pasukan baris depan dari agenda-agenda liberal dan radikal sayap kiri.
Gerakan demonstrasi mereka tentunya memperoleh pendanaan yang besar dari sejumlah kelompok elit terutama pendukung organisasi Planned Parenthood. Menelan hasutan dan cuci otak dari para guru atau dosen mereka di bangku sekolah serta mendengar satu sisi dari perdebatan dan nara sumber yang mempromosikan radikalisme tidak bermoral, para “useful idiots” ini tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan terorisme dan pengrusakan. Semakin berani dikarenakan para elit yang berkuasa di bidang politik terus menerus mengkompori narasi-narasi radikal dan para elit di bidang penegakan hukum tidak menindak perbuatan kriminalitas mereka.
Pengrusakan lebih dari 50 bangunan-bangunan dari organisasi Pro-Life, gedung-gedung gereja, bangunan-bangunan milik swasta dan pribadi yang diketahui mendukung Pro-Life di beberapa negara bagian menjadi sasaran dari tindakan terorisme para “useful idiots” ini. Upaya mereka untuk menakut-nakuti masyarakat dan intimidasi atas usaha dari Kehakiman Agung (Supreme Court) untuk membatalkan keputusan hukum yang mendukung kasus Roe v Wade5 yang telah mengakibatkan hampir 64 juta bayi dibunuh sejak kasus tersebut dimenangkan oleh Jane Roe (yang merupakan nama samaran dari Norma McCorvey) untuk menggugurkan kandungannya.
Tulisan di pintu masuk gedung ini mengatakan, “ jika aborsi tidak aman, demikian pula kamu!” Suatu pernyataan intimidasi yang menyatakan bahwa kalau mereka tidak bisa mempertahankan praktek aborsi secara legal maka mereka mengancam keselamatan para pendukung pro-life.
Untuk berita yang lebih rinci cek artikel Aktifis Pro-Aborsi dan artikel .
Menyaksikan ketololan dan kemunafikan dari anak-anak muda di dalam aksi mereka berdemonstrasi di depan kediaman dari salah satu Hakim Agung - Amy Coney Barrett, sangat menyedihkan sekaligus menimbulkan kemasgulan di hati. Argumen yang sangat menyesatkan bahwa mereka berjuang untuk hak-hak para perempuan tetapi mereka dengan seenaknya melupakan hak-hak para bayi-bayi perempuan yang dibunuh melalui praktek aborsi.

Ini yang mereka katakan saat ditanya.
"We are here ... with our arms tied, with our mouths covered, holding dolls, because this is what Amy's America looks like," said one activist, who according to the organization was fifteen years old.
"Children will be forced to give birth to children," she continued. "Women will be silenced, women will be invalidated, women will be told they are less than." She then urged those who call themselves pro-choice to "take to the streets and stay."
“Kami disini dengan tangan terikat dan mulut dibungkam, memegang boneka bayi karena inilah yang akan terlihat di Amerika versi Amy (Hakim Agung Amy Coney Barrett),” ucap seorang aktifis, yang menurut catatan cuma berusia 15 tahun.
“Anak-anak akan dipaksa untuk melahirkan anak-anak,” lanjutnya. “Para perempuan akan dibungkamkan, para perempuan akan dianggap tidak berarti dan tidak dianggap setara.” Kemudian dia juga menekankan kepada semua orang yang menyebut diri sebagai pro-choice (red. istilah yang juga menyesatkan) “untuk turun ke jalan dan tidak bergeming.”
Gugatan yang diucapkan anak perempuan berusia 15 tahun ini ngaco belo dan siapa pula yang meracuni pikirannya sehingga anak ini percaya bahwa dia berjuang untuk kebaikan umat manusia?. Apakah orang tua mereka, guru atau media? Pagar pertama yang menjaga anak-anak dari penyesatan pikiran adalah para orang tua, dan dalam hal ini orang tua dari anak perempuan ini gagal total.
Dengan mengatas-namakan perempuan yang hamil akibat perkosaan untuk hak aborsi, sebenarnya cuma alasan yang dibuat-buat. Karena aborsi yang terjadi lebih dari 90% bukan karena kasus perkosaan tetapi karena tindakan seks bebas yang para perempuan ini lakukan. Dan untuk bisa melarikan diri dari tanggung jawab, mereka bersembunyi di balik kasus perkosaan yang memiliki persentase sangat kecil. Keegoisan hidup bagi diri sendiri dan tidak bersedia memegang tanggung jawab telah menjadikan para perempuan ini yang seharusnya memiliki kelemah-lembutan menjadi beringas bahkan buas terhadap darah dagingnya sendiri.
Ini adalah salah satu hasil dari gerakan progresifitas di Amerika.
Tulisan ini semata-mata pandangan penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari Repikir.
Kelompok masyarakat yang lahir setelah masa Perang Dunia KeDua, antara tahun 1946-1964.
Suatu upaya untuk bisa diterima oleh opini umum.
Berpikir semata-mata kepada kepentingan dan kesenangan diri sendiri.
Orang-orang yang mendukung suatu isme atau agenda tertentu dan tidak benar-benar mengerti tujuan serta akibat dari aksi mereka. Di dalam kenaifan mereka berpikir bahwa tindakan mereka dalam upaya menghasilkan kebaikan.
Kasus yang menjadi batu penjuru dan kunci perdebatan hak untuk melakukan aborsi di Amerika.